Upacara Malam 1 Sura, pada setiap malam satu syura atau tanggal 1 Muharam 1430 H (Tahun Baru Hijriyah) yang bertepatan tanggal 29 Desember 2008 di keraton Surakarta Hadiningrat akan diadakan upacara adat. Sebagai warisan budaya, upacara seperti ini berasal dari jaman kerajaan hingga sekarang terus dilestarikan dan dilaksanakan. Ini merupakan warisan budaya yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.
Malam 1 sura dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Dalam perhitungan jawa, malam 1 sura dimulai dari terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kelender jawa (29/30 bulan Besar) sampai terbitnya sang matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya.
Dilingkungan keraton Surakarta Hadiningrat upacara ini diperingati dengan kegiatan kirab mengililingi beteng keraton. Dimulai dari kompleks Kemandungan Utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan keraton dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan Utara. Dalam profesi pusaka keraton menjadi bagian utama pada barisan terdepan baru kemudian diikuti para pembesar keraton, kerabat dan jajaran keraton yang lengkap dengan pakaian keratonnya, dan akhirnya oleh masyarakat. Uniknya pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian tersendiri bagi masyarakat.
Pada jaman modern seperti sekarang ini dan era globalisasi dengan teknologi canggih, masyarkat Surakarta dan sekitarnya masih percaya kerbau Kyai Slamet Klangenan Karaton Surakarta Hadiningrat sebagai hewan suci dan memberikan berkah. Masyarakat berharap pada saat kirab pusaka, kerbau Kyai Slamet mengeluarkan kotoran dan mereka beranggapan kotoran kerbau Kyai Slamet dapat memberikan berkah.
Fakta yang ada, pada malam tanggal 1 bulan Sura tahun baru Jawa banyak masyarakat yang berdatangan ke Keraton Surakarta Hadiningrat untuk melihat Kirap Pusaka dan kirab kerbau Kyai Slamet. Karaton Surakarta adalah istana raja atau tempat kediaman raja-raja Surakarta, sekaligus Ibukota dan pusat pemerintahan kerajaan tersebut. Karaton Surakarta yang terletak di pusat kota ini mulai digunakan pada hari Rebo Pahing, 17 Februari 1745. Didirikan oleh Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku BUwana II. Karaton Surakarta tetap melstarikan upacara adapt diantaranya upacara jumenengan Dalem atau peringatan naik tahta, upacara Kirab Pusaka dan Kirab Kerbau Kyia Slamet setiap Malam tanggal 1 bulan Sura.
Upacara adat Malem 1 Sura di Karaton Surakarta Hadiningrat yang biasa dilakukan pada malam tanggal 1 bulan Sura tahun baru Jawa merupakan suatu tradisi yang memeperkaya khsanah kebudayaan nasional Indonesia. Upacara adat Malem 1 Sura Di karaton Surakarta Hadiningrat dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya dengan segala kekhususannya tidak dijumpai pada setiap daerah dan sangat menarik untuk diteliti.
Masyarakat berharap agar kerba Kyai Slamet pada saat kirab pusaka mengeluarkan kotoran. Mereka beranggapn bahwa kotoran kerbau Kyai Slamet diyakini dapat menyuburkan tanaman, sehingga akan memberikan hasil yang melimpah dan terhindar dari ancaman segala hama. Pada saat kirab pusaka berlangsung warga masyarakat rela berdesak-desakan dan banyak yang memperebutkan kotorang kerbau Kyai Slamet bahkan mereka mengambilnya dengan tangan telanjang. Kerbau Kyai Slamet pada zaman dahulu merupakan pisungsung dari Bupati Ponorogo dan merupakan hewan keayangan Keraton Surakarta sehingga beranak pinak sampai sekarang.
Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas, yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Bupati Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet. Sekadar catatan, sampai sekarang pihak keraton tidak pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet ini.
“Karena bertugas menjaga dan mengawal pusaka Kyai Slamet, maka masyarakat menjadi salah kaprah menyebut kebo bule ini sebagai Kebo Kyai Slamet,’’ kata Wakil Pengageng Sasono Wilopo Keraton Surakarta, Kanjeng Raden Aryo (KRA) Winarno Kusumo,
Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas, dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta –sekitar 500 meter arah selatan Kantor Balai Kota Solo.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, Kebo Bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut pengganggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.
Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika menyaksikan kirab.
Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab puasaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan keerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang pun menyemut dari keraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui arak-arakan.
Dan inilah yang menarik: orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.
Mengapa justru kawanan kebo bule tersebut yang menjadi tokoh utama dalam tradisi ritual kirab malam 1 Sura?
Menurut Kepala Sasono Pustoko Keraton Surakarta Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger, kirab pusaka dan kerbau sebenarnya berakar pada tradisi sebelum munculnya Kerajaan Mataram (Islam), pada prosesi ritual wilujengan nagari. Pusaka dan kerbau merupakan simbol keselamatan. Pada awal masa Kerajaan Mataram, pusaka dan kerbau yang sama-sama dinamai Kyai Slamet, hanya dikeluarkan dalam kondisi darurat, yakni saat pageblug (wabah penyakit) dan bencana alam.
”Pusaka dan kerbau ini diharapkan memberi kekuatan kepada masyarakat. Dengan ritual kirab, Tuhan akan memberi keselamatan dan kekuatan, seperti halnya Ia memberi kekuatan kepada pusaka yang dipercaya masyarakat Jawa memiliki kekuatan,” ungkapnya.
Sementara sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Sudarmono, menuturkan, selain dekat dengan kehidupan petani, sosok kerbau memang banyak mewarnai sejarah kerajaan di Jawa. Semasa Kerajaan Demak, misalnya, seekor kerbau bernama Kebo Marcuet mengamuk dan tak ada satu prajurit pun yang bisa mengalahkannya. Karena meresahkan, kerajaan menggelar sayembara: barang siapa mampu mengalahkannya akan diangkat menjadi senopati.
Secara mengejutkan, Jaka Tingkir atau Mas Karebet mampu mengalahkan Kebo Marcuet dengan tongkatnya. Mas Karebet kemudian mempersunting putri Raja Demak Sultan Trenggono, dan akhirnya mengambil alih kekuasaan.
”Jaka Tingkir sebenarnya keturunan Kebo Kenongo, Raja Pengging Hindu yang dikalahkan Kerajaan Demak. Pemindahan kekuasaan dari Demak ke Pajang, yang dekat Pengging, adalah upaya Joko Tingkir mengembalikan pengaruh kekuasaan kerajaan ke pedalaman yang sarat tradisi agraris,” katanya.
Dari sejarah itu, lanjut Sudarmono, kerbau selalu dijadikan alat melegitimasi kekuasaan kerajaan. ”Dalam budaya agraris, kerbau simbolisasi kekuatan petani. Sosok kerbau dihadirkan dalam kirab, yang diikuti abdi dalem dan rakyat, sebenarnya ingin menunjukkan legitimasi keraton atas rakyatnya yang sebagian besar petani.”
Kemunculan kebo bule Kyai Slamet dalam kirab, kata Sudarmono, adalah perpaduan antara legenda dan sage (cerita rakyat yang mendewakan binatang). Dalam pendekatan periodisasi sejarah, sosok kebo bule ditengarai hadir semasa Paku Buwono (PB) VI pada abad XVII. PB VI merupakan raja yang dianggap memberontak kekuasaan penjajah Belanda dan sempat dibuang ke Ambon.
”Meski PB VI dibuang ke Ambon, namun semangat pemberontakan dan keberaniannya menghidupi rakyatnya. Dalam peringatan naik takhta, sekaligus pergantian tahun dalam penanggalan Jawa malam 1 Sura, muncul kreativitas menghadirkan sosok kebo bule yang dipercaya sebagai penjelmaan pusaka Kyai Slamet dalam kirab pusaka,” tambah Sudarmono.
Pada sisi lain Gusti Puger menuturkan, Keraton Surakarta tidak pernah menyatakan tlethong (kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah. ”Kalau tlethong dianggap menyuburkan sawah karena dapat dibuat pupuk, itu masih diterima akal. Namun kami memahami ini sebagai cara masyarakat menciptakan media untuk membuat permohonan. Mereka sekadar membutuhkan semangat untuk bangkit.”
Winarno mengungkapkan, saat ini kebo bule keraton berjumlah 12 ekor. Namun kebo bule yang dipercaya sebagai keturunan asli Kyai Slamet sendiri hingga saat ini hanya tersisa enam ekor. Mereka adalah Kiai Bodong, Joko Semengit, Debleng Sepuh, Manis Sepuh, Manis Muda, dan Debleng Muda.
“Yang menjadi pemimpin kirab biasanya adalah Kyai Bodong, karena dia sebagai jantan tertua keturunan murni Kyai Slamet. Disebut keturunan murni, karena mereka dan induk-induknya tidak pernah berhubungan dengan kerbau kampung.”
Kyai Bodong sendiri memiliki adik laki-laki yang diberi nama Kyai Bagong. Namun, kata Winarno, kerbau tersebut sekarang ini berada di kawasan Solo Baru, Sukoharjo, dan dengan alasan yang enggan disebutkan, kebo bule itu tidak bisa dibawa pulang ke Keraton Surakarta.
Sejak dulu, sekawanan kebo keramat tersebut memang memiliki banyak keunikan. Kawanan kerbau ini, misalnya, sering berkelana ke tempat-tempat jauh untuk mencari makan, tanpa diikuti abdi dalem yang bertugas menggembalakannya. Mereka sering sampai ke Cilacap yang jaraknya lebih 100 km dari Solo, atau Madiun di Jawa Timur. Namun anehnya, menjelang Tahun Baru Jawa, yakni 1 Sura atau 1 Hijriah, mereka akan kembali ke keraton karena akan mengikuti ritual kirab pusaka.
Winarno menambahkan, malam 1 Sura sangat berarti bagi orang Jawa, karena tidak saja memiliki dimensi fisik perubahan tahun, namun juga mempunyai dimensi spiritual. Sebagian masyarakat Jawa yakin, bahwa perubahan tahun Jawa menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis Jawa, terutama kehidupan masyarakat agraris.
Nah, peran kebo bule Kyai Slamet adalah sebagai simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa. Di luar itu, kerbau secara umum juga mempunyai nilai tinggi dalam sebuah ritual, tidak saja di keraton Surakarta, tetapi juga di Sulawesi, Kalimantan, sehingga secara material ia menjadi simbol kejayaan dan kesuburan. Sebuah cita-cita yang ingin diwujudkan oleh raja beserta rakyatnya.
“Kyai Slamet adalah sebuah visi Raja. Secara harfiah, visi Keraton Surakarta, yaitu ingin mewujudkan keselamatan, kemakmuran, dan rasa aman bagi masyarakatnya.
0 komentar:
Posting Komentar