Tingkat tutur bahasa Jawa (Unggah-ungguhing basa)pada dasarnya ada dua macam, yaitu ragam ngoko dan ragam krama. Ragam ngoko meliputi ngoko lugu dan ngoko alus (Hardyanto dan Esti SU 2001:47).
Poedjasoedarma berpendapat bahawa tingkat tutur ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara 01 terhadap 02 dan tingkat tutur ini dipakai jika seseorang ingin menyatakan keakrabannya terhadap mitra wicara (02); tingkat tutur madya diartikan sebagai tingkat tutur menengah antara krama dan ngoko; tetapi tetap menunjukkan perasaan sopan meskipun kadar kesopanannya hanya sedang-sedang saja; tingkat tutur krama diartikan sebagai tingkat tutur yang memancarkan arti penuh sopan santun dan tingkat tutur ini menandakan adanya perasaan segan 01 terhadap 02 (Sasangka 2004:14).
Bahasa Jawa berdasarkan Undha-usuk atau unggah-ungguhnya ialah seperti disebutkan di bawah ini (Suliyanto 2008:15):
No.
Undha-Usuk Basa
Endahing Raos Adining Suraos
1.
Ngoko (lugu)
Raket-supekat
2.
Ngoko (alus)
Raket-supekat, nanging tetep urmat
3.
Krama (lugu)
Urmat, nanging kirang raket-supeket
4.
Krama (alus)
Urmat sanget, nanging kirang raket supeket
Selanjutnya tingkat tutur bahasa Jawa di atas akan dijelaskan sebagai berikut.
1 Tingkat Tutur Ngoko (Ragam Ngoko)
Yang dimaksud dengna ragam ngoko adalah bentuk unggah-ungguh bahasa jawa yang berintikan leksikon ngoko, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam ngoko adalah leksikon ngoko bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk ngoko (misalnya, afiks di-, -e, dan –ake). Ragam ngoko dapat digunakan oleh mereka yang sudah akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih tinggi status sosialnya daripada lawan bicara (mitra wicara). Ragam ngoko mempunyai dua bentuk varian, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus (Sasangka 2004:95).
a. Ngoko Lugu
Yang dimaksud dengan ngoko lugu adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil, atau krama andhap, baik untuk persona pertama (01), persona kedua, persona kedua (02), maupun kedua (02), maupun untuk persona ketiga (03).
1)yen mung kaya ngono wae, aku mesthi ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa!”
2)Yen mung kaya ngono wae, kowe mesthi ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, kamu pasti juga bisa!”
3)Yen mung kaya mengono wae, dheweke ya bisa!
“Jika Cuma seperti itu saja, dia pasti juga bisa!”
Contoh: Bojoku nukokake klambi bocah-bocah (Sudaryanto 1991:152).
‘Isteri saya membelikan anak-anak baju’
Mas Totok nggawekake Dik Darno layangan (Sasangka 2001:152).
‘Mas Totok membuatkan Dik Darno layangan’
Tampak sufiks –ake pada nukokake ‘membelikan’ dan nggawekake ‘membuatkan’ merupakan afiks penanda leksikon ngoko (Sasangka 2004:98).
b. Ngoko Alus
Yang dimaksud dengan ngoko alus adalah bentuk unggah-ungguh yang di dalamnya bukan hanya terdiri atas leksikon ngoko dan netral saja, melainkan juga terdiri atas leksikon krama inggil, krama andhap, atau leksikon krama yang muncul di dalam ragam ini sebenarnya hanya digunakan untuk menghormati mitra wicara (02 atau 03)(Sasangka 2004:99-100).
Contoh: Wingenane simbah tindak mrene (Sudaryanto 1991:153).
‘Kemarin dulu nenek ke sini’
Pak guru basa Jawa sing anyar iku asmane sapa? (Sasangka 2001:183).
‘Pak guru bahasa Jawa yang baru itu namanya siapa?’
Tampak bahwa pada butir tindak ‘pergi/berangkat’ dan asmane ‘namanya’ merupakan leksikon krama inggil yang berfungsi untuk menghormati mitra tutur (Sasangka 2004:100).
2 Tingkat Tutur Krama(Ragam Krama)
Yang dimaksud dengan ragam krama adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang berintikan leksikon krama, atau yang menjadi unsur inti di dalam ragam krama adalah leksikon krama bukan leksikon yang lain. Afiks yang muncul dalam ragam ini pun semuanya berbentuk krama (misalnya, afiks dipun-, -ipun, dan –aken). Ragam krama digunakan oleh mereka yang belum akrab dan oleh mereka yang merasa dirinya lebih rendah status sosialnya daripada lawan bicara. Ragam krama mempunyai dua bentuk varian, yaitu krama lugu dan krama alus (Sasangka 2004:104).
a.Krama Lugu
Secara semantis ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya rendah. Meskipun begitu, jika dibandingkan dengan ngoko alus, ragam krama lugu tetap menunjukkan kadar kehalusan (Sasangka 2004:105).
Contoh: Niki bathike sing pundi sing ajeng diijolake?
‘Batik ini yang mana yang akan ditukarkan?’
Mbak, njenengan wau dipadosi bapak.
‘Mbak, Anda tadi dicari bapak’
Tampak afiks di- pada diijolake ‘ditukarkan’ dan dipadosi “dicari’ merupakan afiks ngoko yang lebih sering muncul dalm unggah-ungguh ini darpada afiks dipun-, -ipun, dan –aken. Contoh kalimat di atas bertujuan untuk menurunkan derajat kehalusan (Sasangka 2004:108-109)
b.Krama Alus
Yang dimaksud dengan krama alus adalah bentuk unggah-ungguh bahasa Jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama dan dapat ditambah dengan leksikon krama inggil atau krama andhap. Meskopun begitu, yang menjadi leksikon inti dalam ragam ini hanyalah leksikon yang berbentuk krama. Leksikon madya dan leksikon ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur ini. Selain itu, leksikon krama inggil atau krama andhap –secara konsisten- selalu digunakan untuk penghormatan terhadap mitra wicara.
Secara semantis ragam krama alus dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang kadar kehalusannya tinggi (Sasangka 2004:111).
Contoh: Arta punika kedah dipunlintokaken wonten bank ingkang dumunung ing kitha.
‘uang ini harus ditukarkan di bank yang berada di kota’
Tampak bahwa afiks dipun- ‘di’ seperti pada dipunlintokaken ‘ditukarkan’ merupakan afiks penanda leksikon krama (Sasangka 2004:113). Cafid (Pend. Bahasa dan Sastra Jawa Unnes)
0 komentar:
Posting Komentar