Mangga Gladhen Bisnis

SentraClix DbClix

Pages

Senin, 31 Januari 2011

Legenda Makam Eyang Singomodo (MAKAM EYANG SINGOMODO)

Legenda Makam Eyang Singomodo (MAKAM EYANG SINGOMODO), Riwayat tokoh yang saat ini makamnya berada di dukuh Pungkruk Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar ini, diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan. Tidak aneh jika akhirnya muncul beberapa versi yang berbeda, juga pergeseran dari fakta menjadi legenda.

Berdasarkan penuturan juru kunci makam, yang juga merupakan salah satu keturunan pengikut Eyang Singomodo, sejarah bermula dari terjadinya kekacauan di sebuah kerajaan. Tidak diketahui nama kerajaan tersebut, hanya diyakini Eyang Singomodo adalah tokoh yang memiliki kekerabatan dengan Pangeran Diponegoro. Dalam kekacauan tersebut beberapa prajurit (5 orang) dari pihak yang terdesak mengevakuasi salah seorang tokoh penting kerajaan dengan menyusuri Bengawan Solo menggunakan gethek bamboo. Tokoh tersebut diduga adalah seorang guru/suhu dari para Prajurit kerajaan. Nama sebenarnya dari tokoh tersebut Syech Muhammad Nasyir. Untuk menyamarkan identitas aslinya, beliau berganti nama menjadi Singomodo. Sedang tentang kelima prajurit pendhereknya, melalui laku spiritual, Slamet meyakini mendapat penjelasan bahwa mereka bernama Sholahudin, Raden Mustofa, Rizal, Munir dan Sholeh. Salah satu prajurit tersebut, yakni Raden Mustofa, dia juga merupakan trah dari kerajaan tersebut. Dalam pelariannya, Eyang Singomodo memerintahkan kepada kelima prajuritnya untuk tidak melabuhkan perahu, dan menyerahkan kepada Tuhan dimana perahu akan terdampar. Konon tiba-tiba ada angina besar yang membuat perahu beserta keenam penumpangnya terlempar. Konon tiba-tiba ada angin besar yang membuat perahu besar keenam penumpangnya terlempar ke daratan yang sekarang dikenal dengan nama DUkuh Pungkruk. Di situ pulalah Eyang Singomodo menetapkan sebagai tempat menyingkir yang aman. Mereka mendirikan gubuk beratap ialalng, dan mulai membuka hutan untuk dijadikan pemukiman, hingga akhirnya para prajurit tersebut menikah dengan penduduk di sekitar situ dan beranak pinak. Sementara mengenai Eyang Singomodo, tidak jelas apakah beranak istri atau tidak., Yang jelas dalam pelariannya ia tidak didampingi orang lain kecuali lima prajurit yang mengevakuasinya. Di kompleks pemakamannya saat ini hanya ditemukan 6 kuburan yakni kuburan Eyang Singomodo dan keima prajuritnya. Diyakini Eyag Singomodo tidak menikah sampai akhir hayatnya.

Perkampungan yang dirintis EYang Singomodo akhirnya berkembangmenjadi desa yang ramai pada jamannya. Dia kemudian mendirikan sebuah Masjiddan semacam pondok pesantren. Murid Eyang Singomodo banyak, kurang lebih sekitar 100 orang, dan akhirnya menyebar ke berbagai daerah untuk melakukan siar islam. Konon tidak hanya bangsa manusia yang berguru padanya tetapi ada juga bangsa jin. Beliau menerimanya sebagai murid dan diberi tempat tetapi untuk makan harus cari sendiri. Masyarakat sekitar menghubung-hubungkan banyaknya tempat wingit atau angker sekitar pemakaman yang ada sekarang sebagai tempat tinggal murid dari bangsa jin. Tempat-tempat tersebut hingga kini dibiarkan saja dan tidak ada yang berani untuk mengolahnya.

Karena perkembangan perkampungan itu pila, Eyang Singomodo menetapkan luas kepemilikan tanahnya dengan cara melemparkan batas kepemilikan tanah bagi kelima prajuritnya. Penduduk lain dan juga dirinya sendiri. Bagi dirinya, Eyang Singomodo menetapkan luas kepemilikan tanahnya dengan cara melemparkan sebuah batu. Batu itu kemudian dicari dengan berjalan kearah melingkar(temu gelang) menggunakan tongkat yang diseret. bekas seretan tongkat itulah batas kepemilikan tanah Eyang Singomodo. Hingga kini batas itu masih ada, berupa pematang dan beberapa diantaranya ditumbuhi tanaman perdu. Selain menetapkan wilayah, kepada kelima prajuritnya beliau berwasiat, siapa diantara kelima prajuritnya yang memiliki anak sulung laki-laki, maka mereka dan keturunannya yang kelak wajib menjaga makamnya sementara prajurit yang beranak sulung perempuan, wajib merawat penganggon yang diartikan sebagai segala kelengkapan pakaian, atribut dan pusaka.

Dari kelimanya, tiga diantaranya beranak sulung laki-laki dan dua lainnya beranak sulung perempuan. Slamet, juru kunci yang sekarang ini (yang juga merupakan PTD Desa Kandangsapi) adalah juga merupakan –kturunan dari salah satu prajurit yang beranak sulung laki-laki tersebut.

Eyang Singomodo adalah seorang yang bijak dan berilmu tinggi (sakti). Salah satu legenda tentang kesaktiannya adalah beliau bisa menghilang ketka jaman penjajahan Belanda. Ketika beliau dan muridnya dicari atau diburu oleh orang Belanda, hanya dengan bersembunyi dibalik sapu lidi murid-muridnya tidak tampak oleh orang-orang Belanda.

Legenda Petilisan Makam Joko Budug

Legenda Petilasan Makam Joko Budug (cerita singkat Petilasan Makam Joko Budug). Joko Budug nama lengkapnya adalah Raden Haryo Bangsal Putra Raja Majapahit. Pada suatu ketika Joko Budug / R. Haryo Bangsal pergi dari rumah sampailah di desa Bayem Taman Daerah Sine Ngawi mampir ke rumah Mbok Rondho Dadapan sampai beberapa waktu.

Di dekat desa Bayem Taman ada Kerajaan yang namanya Kerajaan POHAN. Raja POHAN mempunyai Pohon Pisang Pupus Cinde Mas, di Gunung Liliran, Pada musim kemarau pohon pisang Pupus Cinde Mas layu. Raja Pohan mengadakan Sayembara “ Barang Siapa yang bisa mengalirkan air ke pohon pisang Pupus Cinde Mas, Kalau laki-laki akan dijodohkan dengan putrinya, kalau wanita akan dijadikan Sedulur Sinorowati / anak angkat “.

Joko Budug mendengar bahwa Raja Pohan mengadakan sayembara, Beliau pamit akan mohon do’a restu pada Mbak Rondho Dadapan, Mbok Rondho Dadapan merestui akhirnya Joko Budug mengikuti Sayembara tersebut. Dengan kesaktiannya Joko Budug berhasil membuat terowongan dengan tangan kosong, sehingga air mengalir ke tanaman pohon pisang Pupus Cinde Mas. Akhirnya Joko Budug akan dikawinkan dengan Putri Raja Pohan. Berhubung Joko Budug badannya rata penyakit kulit/gudig. Raja Pohan memerintahkan Patih untuk memandikan/mbilasi Joko Budug di Sendang Gampingan sekarang dukuh Gamping. Sang Patih melaksanakan perintah Raja. Sang Patih agak kurang pendengarannya/tuli Perintah Sang Raja untuk mbilasidi dengar sang patih untuk Nelasi. Sampai disekat Sendang Gampingan Joko Budug dihabisi/dibunuh.

Setelah itu dibuatkan lubang kubur sepanjang orang biasa, setelah dimasukkan ternyata tidak muat, jasadnya tidak bisa masuk lubang kubur dan penjangnya ditambah lagi mencapai 11 (sebelas) meter. namun tidak cukup juga. Pada waktu itu sesepuh Kerajaan Pohan mendapat wangsit agar Joko Budug dimakamkan bersama Calon Istrinya (anak Raja Pohan) di gunung Liliran. Akhirnya Joko Budug di makamkan digunung liliran bersama calon istrinya. Akhirnya Sang Raja Majapahit mendengar kematian Putranya (Joko Budug ) jasad keduanya di bawa ke Majapahit.

Demikian cerita singkat Makam Joko Budug alias R. Haryo Bangsal yang terletak di Gampingan yang sekarang di sebut dukuh Gamping dan di gunung liliran tinggal petilasan makam.

Sampai sekarang Petilasan Makam Joko Budug ( R. Haryo Bangsal ) yang berada di Gamping maupun di Gunung Liliran banyak pengunjung yang ziarah terutama pada malam Jum’at Legi bulan Suro .

Legenda Joko Tingkir ( Putri Luhdini dan Jaka Sampurna [MAKAM BAWANG] )

Legenda Joko Tingkir ( Putri Luhdini dan Jaka Sampurna [MAKAM BAWANG] ), konon di ceritakan ketika Sultan Hadiwijaya penguasa keraton Pajang sedang berburu di hutan tepatnya di kawasan hutan Poleng, ia berjumpa dengan seorang gadis, putridseorang penduduk tersebut. Dalam kisahnya Jaka Tingkir terkenal sosok yang gagah dan tampan apalagi saat itu ia adalah seorang Sultan di Keraton Pajang tentunya hal itu mempengaruhi kewibawaanya serta menjadi impian setiap wanita untuk bersanding dengannya, lebih-lebih Jaka Tingkir mempunyai karakter/hobi play boy.

Pertemuannya dengan Luhdini gadis desa tersebut nampaknya ada benih-benih cinta yang terpendam dihati Sultan Hadiwijaya, dan rasa cinta Sultan hadiwijaya tersebut ternya dapat meluluhkan hati putri Luhdini, sehingga hatinya tertambat dan berlabuh di hati sultan Hadiwijaya. Kisah perjalanan asmara kedua insan yang tengah dimabuk kepayang tersebut, berlanjut sampai putri Luhdini mengandung, namun berhubung Sultan Hadiwijaya telah lama meninggalkan keraton, maka ia bersama prajurit pengawalna kembali ke keraton Pajang, sementara putri Luhdini di tinggal bersama orang tuanya di tempat tersebut

Haripun berganti sang waktupun berlalu mengikuti irama kehidupan, dalam suasana sedih dan rindu yang terpendam dalam hati putri Luhdini. Apalagi saat itu putri Luhdini tengah mengandung putranya yang sangat dicintai kelak menjadi harapan masa depan putri Luhdini. Kandungan putri Luhdini kian hari kian membesar, akhirnya tiba saatnya masa memancarkan cahaya di aura wajah anak tersebut, katakanlah anak tersebut lahir sempurna, maka oleh Ibunya diberi nama “ JAKA SAMPURNA “.

Ketika Jaka Sampurna menginjak dewasa ia tentunya paham bahwa seorang anak itu hadir didunia logikanya lantaran seorang Ayah dan Ibu, namun dalam benak Jaka Sampurna sampai saat ini ia selalu bertanya siapa yang mengukir jiwa raganya tersebut, sedang sang ibu selalu merahasiakan ayah Jaka Sampurna sesungguhnya hal itu dilakukan putri Luhdini khawatir jika putranya nanti disia-siakan karena tidak diakui oleh ayahnya seorang penguasa di keratin pajang.

Jaka sampurna :” Maafkan saya Ibu…….lama saya merenung dan bertanya-tanya siapakah orangtuaku yang mengukir jiwa dan ragaku sebenarnya Ibu……?

Putri Luhdini :” Putraku Jaka Sampurna sudahlah jangan kau tanyakan hal itu,hati ibu sedih jika kau tanyakan masalah itu padaku anakku, percayalah aku orang tuamu…..”

Jaka Sampurna : ” Ibu, sebuah kelahiran itu ada proses yang tidak boleh lepas dari kodratnya, bahwa seorang anak manusia lahir kedunia itu harus melalui perantara yaiu seorang Ayah dansesorang, Bu, apakah Jaka Sampurna diukir dari sebongkah batu ?!

Putri Luhdini :” Oh…Jaka Sampurna anaku…….tidak…….kau adalah Putraku sebenarnya…namun jika kemauanmu keras untuk mengetahui orang tuamu laki-laki, baiklah dia adalah seorang penguasa di keraton Pajang bernama Sultan Hadiwijaya…….raja Pajang.

Ketika disebut bahwa orang yang mengukir jiwa raganya adalah Sultan Hadiwijaya di Pajang, betapa kaget hati jaka Sampurna ia tidak menyangka kalau ayahnya adalah seorang darah biru alias seorang raja. Namun dalam hatinya timbul pertanyaan mengapa ibunya hidup sendirian di tengah hutan,betapa teganya Sultan Hadiwijaya meninggalkan Ibu dan dirinya dengan penuh penderitaan.

Akhirnya Jaka Sampurna berpamitan dengan ibunya untuk mencari ayahnya ke Keraton Pajang, wlaupun sebetulnya hal itu di larang oleh ibunya. Tetapi kemauan Jaka Sampurna yang sangat keras akhirnya ia diijinkan juga untuk menemui ayahnya di Keraton Pajang. Dengan tekad yang bulat Jaka Sampurna melakukan perjalanan menuju ke keraton Pajang, ia sangat ingin tahu seperti apa orang yang telah mengukir jiwa dan raganya hingga sampai sekarang masih merupakan misteri bagi dirinya.

Sesampai keraton Pajang Sampurna berhasil menhghadap Sultan Hadiwijaya, ketika Jaka Sampurna menghadap ayahnya/Sultan Hadiwijaya. Dalam hati sultan agak bergetar secara naluri dia merasakan ada hubungan batin antara dia dengan Jaka Sampurna, namun hatinya ragu siapakah sebenarnya pemuda yang dihadapannya.

Sultan Hadiwijaya : “ Wahai anak muda….aku lihat kau bukan orang Pajang dan namaknya kau baru saja menempuh perjalanan jauh, siapakah kau sebenarnya…..?!

Jaka Sampurna : “ Hamba mohon maaf sebelumnya…..kalau kedatangan hamba sangat merisaukan paduka, hamba berma,a Jaka Sampurna dari hutan Poleng “.

Sultan Hadiwijaya : “ Apa maksud kedatanganmu ke keraton Pajang Jaka Sampurna……?!”

Jaka Sampurna : “ Hamba ingin bertemu dengan orang tua kami yaitu Sultan Hadiwijaya. ”

Sultan Hadiwijaya : “ Oh……..kamu Jaka Sampurna dari hutan poleng, dan siapa nama ibumu anak muda…?! ”

Jaka sampurna : “ Nama Ibu hamba adalah Luhdini. ”

Namun hal itu tidak langsung membuat Sultan Hadiwijaya percaya begitu saja. Kendatipun dalam hati kecilnya ia percaya bahwa anak muda tersebut adalah putranya, sultan sangat kagum atas kegagahan dan ketampanan serta keberanian anak muda tersebut.

Sultan Hadiwijaya : “ Baiklah …….anak muda perkenalkan akulah Sultan Hadiwijaya raja pajang, namun aku masih sangsi apa betul kamu adalah putraku, begini….kembalilah ke Poleng jika kau benar-benar darah dagingku, kalau ibumu dapat membawa buah “ BAWANG” yang besarnya sebesar tempayan (Genthong).

Betapa kaget hati Jaka Sampurna begitu mendengar titah Sultan Hadiwijaya, namun untuk membuktikan kesetiaan dan sifat kesatrianya diapun menyanggupi untuk memnuhi permintaan ayahnya (Sultan Hadiwijaya) Jaka Sampurna segera memohon pamit untuk kembali ke Poleng.

Setelah sampai didepan Ibunya tercinta Jaka Sampurna menceritakan tentang peristiwa di keratin Pajang saat menghadap Sultan Hadiwijaya, putri Luhdini sangat prihatin dan sedih ketika mendengar cerita putranya tersebut.

Namun untuk memenuhi dan menjawab permintaan raja pajang tersebut putri Luhdini melakukan semedi guna memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar terwujud harapannya, nampaknya permohonan putrid Luhdini yang tulus suci itu dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dihadapannya ada tanaman buah Bawang Putih yang besarnya sebesar tempayan (Genthong).

Terjadinya Dukuh Bawang (Legenda Dukuh Bawang)

Setelah permintaan berupa Bawang Putihyang sebesar tempayan tersebut, Jaka Sampurna segera kembali ke keratin pajang guna menyerahkan permintaan Sultan Hadiwijaya tersebut. Sesampai di keraton pajang betapa kaget dan terharunya Sultan Hadiwijaya begitu melihat buah Bawang besarnya sebesar tempayan/Genthong, hal itu membuat hati Sultan Hadiwijaya gangga serta mengakui bahwa Jaka Sampurna adalah Putranya hasil buah cintanya dengan seorang wanita dari hutan Poleng bernama Luhdini, kemudian Sultan Hadiwijaya memerintahkan kepada putranya / Jaka Sampurna agar memboyong ibunya/Luhdini ke keraton Pajang serta agar tempat yang ditempati oleh putrinya Luhdini kelak dinamakan “ BAWANG”

Tetapi setelah di hadapan Ibunya Jaka Sampurna menyampaikan pesan Sultan Hadiwijaya untuk diboyong ke keraton Pajang, namun putri Luhdini tidak mau ia tetap ingin hidup mengasingkan diri di tempat tersebut, mengetahui ibunya bersikeras untuk tetap tinggal di situ Jaka Sampurna menggagalkan niatnya kembali ke keraton Pajang, sampai akhir hayatnya putri Luhdini dan Jaka Sampurna hidup berdua di Desa yang penuh kenangan tersebut.

Legenda Pengging

Legenda Pengging, Pengging adalah sebuah desa yang terletak di Kelurahan Dukuh, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, tapi sekarang Pengging lebih dikenal oleh masyarakat mencakup 3 Kelurahan yaitu Bendan, Dukuh dan Jembungan. Dengan peninggalan yang tersisa adalah Pemandian Umbul Pengging ,Umbul Sungsang dan Makam Pujangga Yosodipuro.

Pengging juga mempunyai ritual sebaran apem untuk memperingati bulan Sapar, tradisi ini sudah ada sejak jaman R. Ng Yosodipuro. Hal ini dimulai karena pengaruh R. Ng Yosodipura yang berjasa dalam membawa rakyat Pengging dalam meningkatkan hasil pertanian dan mengusir hama. Acara ini sering bertepatan dengan acara Pengging Fair yaitu pesta rakyat dan budaza Pengging yang dilaksanakan mendekati bulan Agustus. Acara ini berlangsung selama seminggu dengan puncak acaranya adalah hari terakhir perayaan ini. Namun beberapa hari sebelumnya di sepanjang jalan Pengging sudah ramai dengan pedagang-pedagang, mulai penjual makanan sampai pakaian tidak hanya pedagang lokal tapi juga dari luar daerah. Acara tersebut tidak hanya diikuti oleh masyarakat Pengging dan sekitarnya tapi juga dikunjungi oleh masyarakat luar Pengging misalnya dari Boyolali, Surakarta, Klaten bahkan luar karisidenan Surakarta.

Pesta rakyat dan budaya Pengging merupakan acara memperingati HUT Kemerdekaan Republik Indonesia namun karena suatu hal maka sering dilaksanakan sebagai pesta budaya sekaligus memperingati jasa R Ng Yosodipuro dalam bentuk ritual atau upacara tradisi apeman, acara ini mulai diselenggarakan tahun 1967 dan diadakan secara rutin setiap tahun. Pada awalnya dilangsungkan dengan sederhana dan hanya menampilkan satu panggung hiburan. Seiring bertambahnya waktu acara tradisi ini berjalan semakin maju dan semarak dengan berbagai jenis kegiatan dan hiburan. Dengan demikian pengunjung yang datang semakin bertambah banyak dan Pegging menjadi terkenal dengan Obyek Wisata Pemandian Umbul Pengging dan Makam Pujangga Yosodipuro saja namun juga dengan kegiatan tradisi tahunan tersebut.

R. Ng Yosodipuro ádalah seorang Pujangga sekaligus ulama yang menyebarkan agama Islam hidup pada masa pemerintahan Pakubuwono II dikenal sangat dekat dengan kaum petani, karena kearifannya seringkali rakyat Pengging memohon petunjuk termasuk pada saat petani meminta bantuannya untuk mengatasi serangan hama keong mas. Atas petunjuk R. Ng Yosodipuro para petani mengambil keong mas tersebut kemudian dimasak dengan cara dikukus. Sebelumnya keong tersebut dibalut dengan janus yang dibentuk seperti keong mas. Setiap kali panen padi janur bekas balutan keong mas tersbut digunakan untuk membuat apem kukus. Apem kukus itu kemudian dibagi-bagikan pada petani sebagi wujud syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang diberikan dan juga berkurangnya hama keong. Tradisi bagi-bagi apem akhirnya terus berkembang hingga berjalan sampai sekarang. Bagi masyarakat yang percaya jika berhasil mendapatkan apem maka diyakini akan mendatangkan berkat.

Berebut kue apem kukus keong mas dalam acara Saparan di Pengging, kecamata Banyudono, Boyolali sudah merupakan tradisi yang tak mudah untuk ditinggalkan oleh masyarakatnya. Masing-masing RT mengirimkan apem sebanyak 200 buah kemudian dikumpulkan di kantor kecamatan. Acra Saparan dilaksanakan tepat di perempatan depan Masjid Cipto Mulyo, kompleks wisata Umbul Pengging. Malam sebelumnya diadakan prosesi melakukan doa dan tahlil di Masjid Cipto Mulyo dan dilanjutkan ziarah di makam R. Ng Yosodipuro kemudian dilanjutkan dengan upacar kenduri serta Sanggaran.

Selanjutnya ritual diawali dengan kirab budaya dan arak-arakan dua buah gunungan apem serta berbagi macam kesenian daerah setempat. Dimulai di depan kantor kecamatan Banyudono menuju halaman Masjid Cipto Mulyo. Acara ini dihadari oleh pejabat daerah setempat, trah dari R. Ng Yosodipuro serta kerabat Keraton Surakarta Hadiningrat.

1. Acara-acara untuk memeriahkan tradisi ini antara lain:

- Pentas seni dan budaya, yang diadakan disepanjang Jalan Pasar Pengging, acara dimulai dengan pemotongan pita oleh Bupati Boyolali. Kemudian acara karnaval oleh murid TK dan SD , drum band, Reog dan Barongsai. Iring-iringan ini dimulai dari kantor kecamatan Banyudono sampai di depan Obyek Wisata Umbul Pengging. Malamnya dilanjutkan dengan hiburan kesenian, terdapat lima panggung kesenian yaitu: panggung band rock, anak-anak, orkes melayu (dangdut), campursari, dan Wayang kulit dengan lokasi yang sudah dipersiapkan

- Suasana meriah dan ramai dirasakan sejak sore hari, berlanjut hingga tengah malam apalagi pertunjukan wayang kulit yang berlangsung semalam suntuk. Dapat terlihat disini semua jenis kesenian baik modern maupun tradisional dapat berjalan bersama. Sehingga secara tidak langsung acara ini juga dijadikan sebagai sarana promosi dan melestarikan kebudayaan daerah. Pertunjukan wayang kulit dimainkan oleh dalang dari Pengging sendiri karena Pengging mempunyai banyak dalang misalnya : Ki Wardono, Ki Gondo Sawi, Ki Gondo Tomo, Ki Gondo Wajiran, Ki Sabdo Carito, dalang muda Ki Nyoman dan kadang kadang mengundang dalang terkenal seperti Ki Anom Suroto dan Warseno Slank diiringi waranggana lokal misalnya Nyimut, Suparsih, Wayan, Suji diselingi lawak Gogon yang asli Pengging dan bahkan pelawak Srimulat turut serta menyemarakkan acara ini. Hal ini mendorong lahirnya seniman - seniman muda dari Pengging selain itu sanggar karawitan dan tari tradisioanal dibuka di Pengging.

- Diharapkan dengan diadakannya acara ini mendorong semangat generasi muda untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan serta memajukan daerahnya tidak hanya melalui kekayaan alam namun juga dengan kesenian, kebudayan dan peninggalan sejarah.

Legenda Tambak Merang

Legenda Tambak Merang, legenda ini menceritakan terjadinya nama sebuah tempat yaitu Tambak merang, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Girimarto, Wonogiri. Berawal dari masa paceklik, kemudian munculah sebuah usaha dari seseorang untuk mengatasi masalah itu. Selain itu juga mengisahkan salah satu keturunan Kyai yang mempunyai tujuan baik. Akan tetapi karena kurangnya pengetahuan tentang pentingnya komunikasi, tujuan itu tidak tercapai. Cerita ini mengajarkan kepada kita bahwa hidup itu membutuhkan perjuangan dan ilmu pengetahuan. Perjuangan dan ilmu pengetahuan tidak bisa dipisahkan.

Legenda Masjid Wonokersa

Legenda Masjid Wonokersa, legenda ini berasal dari daerah Wonogiri. Menceritakan sebuah masjid tiban yang kemudian diberi nama Masjid Wonokerso yang sekarang berada di dusun Wonokersa. Wono berarti hutan, dan kerso artinya yang kukehendak. Legenda ini mengajarkan kepada kita untuk menghormati serta melestarikan peninggalan para pejuang. Masjid Wonokerso yang dianggap sebagai masjid Tiban itu diyakini sebagai peninggalan para wali songo yang berjuang mengajarkan agama Islam di tanah Jawa, termasuk Wonogiri.

Legenda Wonogiri

Legenda nama Wonogiri, cerita ini berawal ketika Sunan Giri mengadakan perjalanan mencari kayu jati untuk membuat tiang masjid Demak. Dalam perjalanan itu Beliau menemukan kayu Jati yang tumbuh di atas pegunungan-pegunungan dan berada di dalam hutan belantara. Setelah menemukan siapa pemiliknya itu, akhirnya kayu itu dihanyutkan di sebuah sungai yang bernama sungai Keduwang. Saat ingin menghanyutkannya Beliau member nama daerah itu dengan sebutan Wono yang berarti hutan dan giri yang berarti gunung.Cerita itu memberikan pelajaran kepada kita bahwa kejujuran itu akan membawa keuntungan. Dengan begitu Tuhan akan memberikan kemudahan untuk kita agar bisa menjalankan kewajiban dengan baik.

Legenda Sendang Si Wani

Legenda Sendang Si Wani, cerita ini berawal ketika Pangeran Sambernyowo yang baru saja menikah itu sedang melihat pemandangan hewan ternak di sebuah tanah lapang. Disana ia melihat ada seekor kerbau yang sedang bertarung. Lalu ketika kerbau itu hamper kalah oleh kerbau lain, maka ia langsung lari menuju sebuah sendang dan meminumnya. Setelah itu kekuatan kerbau itupun kembali pulih. Dan pada akhirnya ia memenangkan pertarungan itu. Cerita ini mengandung makna bahwa perjuangan itu membutuhkan ketabahan, kesabaran dan tidak mudah menyerah.

Selasa, 25 Januari 2011

Unit-Unit Naratif Kamandaka


Unit-unit naratif merupakan peristiwa atau rangakaian kejadian yang terjadi dalam cerita. Dalam cerita “Kamandaka versi Jurangbahas ini, terdiri dari unit naratifs sebagai berikut.

Sekuen 1: Banyakcatra ningali kahanan rakyat ing sakitaripun istana kangge ninjau kahanan ing sakitaripun istana.

Sekuen 2: Prabu Siliwangi maringi dhawuh dhumateng Banyakcatra supados enggal-enggal karma amarga yuswanipun sang prabu ingkang sampun sepuh.

Sekuen 3:Banyakcatra nggadhahi pamanggih pengin nggadhahi garwa kados ibunipun lan medal saking istana kanggo mados garwanipun.

Sekuen 4: Banyakcatra nemukaken kedadosan ingkang aneh wonten margi lajeng tumunju wonten ing dhusun ingkang ngedab-edabi kahananipun

Sekuen 5:Banyakcatra nyamar dados warga biasa supados boten ketingal jatidirinipun lan gantos jeneng dados Kamandaka.

Sekuen 6: Kamandaka ningal lan nggadhahi krenteg kepengin daup kaliyan Dewi Ciptarasa

Sekuen 7: Kamandaka dados prajurit ing Kadipaten Pasirluhur supados caket kaliya Dewi Ciptarasa.

Sekuen 8: Kamandaka ngawal Adipati nalika sengkrama ing lepen kangge sengkrama.

Sekuen 9: Kamandaka asring kepanggih kaliyan Dewi Ciptarasa lan Adipati ngertos menawi Kamandaka asring kepanggih kaliyan Dewi Ciptarasa.

Sekuen 10: Prajurit kadipaten mados lan nguber Kamandaka ngantos dumugi kedhung

Sekuen 11: Kamandaka mentas saking kedhung lan tumuju ing dalemipuun Nyi Kertisara.

Sekuen 12: Kamandaka dipunpupu dening Nyi Kertisara.

Sekuen 13: Kamandaka digladhen lan dipun padosaken sawung aduan dening Ki Rekajaya.

Sekuen 14: Prabu Siliwangi dhawuh kaliyan Banyakngampar supados madosi Banyakcatra.

Sekuen 15: Banyakngamar tapa brata ing Gunung Megasumini kangge nyuwun pitedhah saking Gusti.

Sekuen 16: Banyakngampar dumugi ing Kadipaten Pasirluhur.

Sekuen 17: Banyakngampar dipun dadosaken perwira dening adipati.

Sekuen 18: Banyakngampar dipun dadosaken tiyang kapercayanipun Adipati.

Sekuen 19: Banyakngampar dipundhawuhi sang adipati supados nyelidiki Kamandaka wonten ing papan kangge adu jago.

Sekuen 20: Banyakngampar nderek adu jago nalika sawungipun Kamandaka sampun wonten kandang aduan.

Sekuen 21: Banyakngampar gantos asma dados Silihwarni.

Sekuen 22: Silihwarni mburu Kamandaka sesampunipun ngertos dados buronan kadipaten.

Sekuen 23: Kamnadaka dipunuber dening Silihwarni ngantos ing pundi-pundi papan.

Sekuen 24: Silihwarni mbeberaken piyambakipun menawi putra saking Pajajaran.

Sekuen 25: Silihwarni ngejak Kamandaka wangsul ing Pajajaran.

Sekuen 26: Prabu Siliwangi ngawontenaken pilihan raja antarane Banaykcatra dan Banykangampar lan Banyakcatra kalah.

Sekuen 27: Banyakcatra wangsul malih ing Pasirluhur.

Sekuen 28 Banyakcatra tapa ing Batir Agung lan Kamandaka dipunparingi klambi utawi rasukan lutung ajaib.

Sekuen 29: Kamandaka malih rupa dados lutung.

Sekuen 30: Adipati mburu kewan ing alas lan sumerep kewan anh arupi lutung.

Sekuen 31: Lutung menika dipunbekta ing istana lan dados ingon-ingone Dewi Ciptarasa.

Sekuen 32: Prabu Pulebahas kepengin nglamar Dewi Ciptarasa lajeng Dewi Ciptarasa nyuwun sarat supados ndamel bantalan mori ingkang dawanipun saking Pasirluhur tumuju Nusa Tembini.

Sekuen 33: Dewi Ciptarasa badhe mantenan kaliyan Pulebahas.

Sekuen 34: Lutung ucul saking kandhange lan mundhut pusakanipun Prabu Pulebahas ing senthong.

Sekuen 35: Pulebahas lan Lutung tarung.

Sekuen 36: Pulebahas sumerep menawi pusakanipun dibekta lutung.

Sekuen 37: Pulebahas ngraos cilik ati lan ndadosaken badhe kalah.

Sekuen 38: Pulebahas mlebet wulu gadhing.

Sekuen 39: Pulebahas njedhul ing igir Suruh lan wangsul ing Nusa Tembini.

Sekuen 40: Lutung menika wangsul ing kadipaten lan malih dados Kamandaka.

Sekuen 41: Kamandaka karma kaliyan Dewi Cipatarasa.

Sekuen 42: Kamandaka dados Adipati ing Pasirluhur nggentos marasepuhipun.