Mangga Gladhen Bisnis

SentraClix DbClix

Pages

Rabu, 02 Juni 2010

Legenda Rawa Pening

A. Legenda Rawa Pening
Walau tak tak ada yang tahu pasti, sejak kapan legenda itu muncul dan mengapa kawasan tersebut di sebut Rawa pening, tetap saja masyarakat setempat mengaitkan telaga seluas 2.670 Ha itu dengan kemunculan sesosok ular besar yang dianggap keramat. Masih menurut mereka, di saat-saat tertentu ular tersebut bergerak mengitari telaga untuk memberi berkah bagi orang-orang yang membutuhkan. Sampai-sampai untuk menghormati legenda tersebut, sebuah ornamen dari beton berbentuk ular besar pun di pasang di pintu masuk telaga ini.

Rawa Pening, demikian nama objek wisata itu. Rawa Pening merupakan lokasi wisata populer di Propinsi Jawa Tengah, tepatnya di Desa Bukit Cinta, Kabupaten Ambarawa, berjarak 45 Km dari Semarang. Luasnya mencakup 4 wilayah kecamatan; Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Telaga ini sendiri berada di lereng Gn. Merbabu, Gn. Telomoyo dan Gn. Ungaran dengan ketinggian 461 mdpl.
Saat itu, di sebuah kesempatan kami memulainya dari Salatiga, hanya memakan waktu 10 menit berkendara. Rupanya, jarak Salatiga – Rawa Pening cuma 5 Km. Untuk sampai kesana kita akan melalui jalan yang sedikit menanjak dan berkelok-kelok. Beberapa rumah dan kebun tampak menghiasi sisi kanan dan kiri jalan. Selain itu, tak ketinggalan hawa dingin yang langsung menyergap, pertanda kita sedang berada di ketinggian.
Hari tampak mendung, saat kami tiba di objek wisata ini, pukul 8.30 pagi. Keinginan menjelajahi telaga yang luasnya mencakup 4 kecamatan ini pun sempat urung dilaksanakan. Pasalnya, tak lama berselang hujan deras turun. Jika sudah begini, jarak pandang akan terbatas akibat kabut dan penyewaan perahu tampak sepi.
Rencananya, kunjungan singkat ini untuk menikmati pesona telaga yang dianggap sakral oleh penduduk setempat, sembari melihat dari dekat penghuni kawasan yang oleh masyarakat sekitar di sebut ‘ikan wader’. Konon telur ikan ini berkhasiat sebagai obat perekat bagi tulang yang patah.
Sebuah Legenda
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, sumber air telaga berasal dari luberan air bekas cabutan lidi Baru Klinting.
Alkisah, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam. Luka itu tak pernah mau kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar.
Akhirnya, tak ada seorang pun yang mau bersahabat dengannya. Jangankan berdekatan, bertegur sapa pun mereka enggan. Setiap berpapasan mereka pasti melengos. Tak ingin bersinggungan, karena takut tertular.
Bocah ini pun mulai berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Hingga kemudian dalam mimpinya, ia bertemu seorang wanita tua yang baik hati. Kelak dialah yang sanggup melepaskan mantera jahat tersebut sehingga ia bisa pulih seperti semula.

Akhirnya, tak dinyana tak di duga, dia pun tiba di sebuah kampung yang kebanyakan orang-orangnya sangat sombong. Tak banyak orang miskin di tempat itu. Kalaupun ada, pasti akan di usir atau dibuat tidak nyaman dengan berbagai cara.
Kemunafikan orang-orang kampung ini mengusik nurani bocah kecil tadi, yang belakangan diketahui bernama Baru Klinting. Dalam sebuah pesta yang meriah, bocah tersebut berhasil menyellinap masuk. Namun apa ayal, ia pun harus rela di usir paksa karena ketahuan.
Saat tengah di seret, ia berpesan agar sudi kiranya mereka memperhatikan orang-orang tak mampu, karena mereka juga manusia. Sama seperti mereka. Di perlakukan begitu ia tak begitu ambil pusing. Namun amarah mulai memuncak, saat puluhan orang mulai mencibir sembari meludahi dirinya. “dasar anak setan, anak buruk rupa”, begitu maki mereka.
Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya.
Tak percaya dengan omongan sang bocah, masing-masing orang mulai mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, lagi-lagi, lidi itu tak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya orang-orang mulai takut dengan omongan si bocah. “Jangan-jangan akan ada apa-apa?” pikir mereka.
Benar saja, dalam beberapa hari, tak ada seorang pun yang sanggup melepas lidi tersebut. Hingga akhirnya, secara diam-diam ia kembali lagi ke tempat itu dan mencabutnya. Seorang warga yang kebetuan lewat melihat aksinya, langsung terperangah. Ia pun menceritakan kisah itu kepada orang-orang yang lain. Tak lama kemudian, tetesan air pun keluar dari lubang tadi. Makin lama makin banyak, hingga akhirnya menenggelamkan kampung tersebut dan membuatnya menjadi telaga.
Konon tak banyak orang yang selamat, selain warga yang melihat kejadian dan seorang janda tua yang berbaik hati memberinya tumpangan. Janda ini pula yang merawatnya, hingga secara ajaib, penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.
Namun penyihir jahat, tetap tak terima, hingga di suatu ketika, Baru Klinting kembali di kutuk. Namun aneh, kali ini kutukan bukan berupa penyakit, tapi malah merubah tubuhnya menjadi ular yang sangat besar dengan kalung yang berdentang pada lehernya.
Versi lain menyebutkan, ular ini sering keluar dari sarangnya tepat pukul 00.00 WIB. Setiap ia bergerak, dentingan kalung di lehernya selalu berbunyi; klentang klenting. Akhirnya, bunyi ini pula yang membuatnya di kenal sebagai Baru Klinting.
Konon, nelayan yang sedang kesusahan karena tidak mendapat ikan, pasti akan beruntung jika Baru Klinting lewat tak jauh dari tempatnya. Itu yang membuat legenda kehadirannya telah menjadi semacam berkat yang paling di tunggu-tunggu.

0 komentar:

Posting Komentar